4. Kuburan di Pinggir Jalan ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ KETIKA Ayah mengajakku memasuki pemakaman umum yang terletak di pinggir jalan itu, aku bertanya-tanya dalam hati, siapa yang akan diziarahi Ayah? Setahuku selama ini tidak ada saudara atau handai taulanku yang dikuburkan di situ. Jangankan kuburan, sanak famili yang tinggal dekat makam itu saja tidak ada. Tapi kini, mengapa Ayah tiba-tiba menghentikan kendaraannya dan mengajakku masuk ke pemakaman umum itu? “Siapa yang akan kita ziarahi, Ayah?” tanyaku memecahkan keheningan ketika berjalan di samping Ayah. Tapi Ayah tidak menjawab. Ia terus melangkah. Berpuluh batu nisan kami lewati. Suasana di pemakaman itu hening sunyi. Yang terdengar hanya desir angin mendesau. “Ayah, siapa yang akan kita ziarahi?” kembali aku bertanya. Tapi, lagi-lagi Ayah tidak menjawab. Mulutnya membisu. Hanya desiran angin terasa kian keras meniup, menerpa pucuk-pucuk pepohonan yang tumbuh di sekitar pemakaman itu sehingga membuat ranting bergoyang-goyang. Ada sebuah pohon kepuh raksasa tumbuh di tengah-tengahnya. Batangnya besar, akar-akarnya berjuntai ke tanah dan menjalar ke mana-mana. Ayah berhenti sejenak di bawah pohon itu. Lama ia merenungi keadaan sekeliling makam. Mulutnya masih membisu. Aku pun ikut-ikutan membisu. Lalu Ayah kembali meneruskan langkahnya. Dan langkah kami terhenti ketika mendengar ada suara orang batuk-batuk di pojok belakang pemakaman. Kami mencari-cari sumber suara itu. Dan di kejauhan sana, nampaklah dua orang sedang menggali lubang kubur. Yang seorang sibuk mencangkul, sedangkan yang satunya lagi bertugas membuang tanah galian. Kami segera menghampiri dua lelaki penggali kubur itu. “Apakah ada yang meninggal, Pak?” tanya Ayah langsung saja. “Dua orang sekaligus!” jawab salah seorang. Benar, dua lubang sekaligus telah mereka gali. Lubang itu letaknya berdampingan. Yang satu sudah selesai digali, sedangkan yang satunya lagi baru mencapai sebatas pinggang. “Kapan mereka akan dikuburkan?” tanya Ayah lagi. “Sebentar lagi mayat-mayat itu datang. Mereka mati korban kerusuhan. Sekarang kerusuhan terjadi di mana-mana, Pak. Hampir setiap hari ada orang mati dikuburkan. Lihat, pemakaman ini sebentar saja penuh,” demikian jawab penggali kubur itu sambil menerima pengki berisi tanah galian yang disodorkan temannya dan bawah. Ayah mengangguk-angguk. Aku pun teringat kejadian-kejadian hebat di tanah air belakangan ini. Kerusuhan memang terjadi di mana-mana. Pembakaran, pembunuhan, penjarahan tak hanya terjadi di tanah Jawa, tapi juga di Aceh, Ambon, Poso, Sampit, dan daerah-daerah lainnya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Indonesia? Sebentar kemudian datanglah iring-iringan mobil jenazah berhenti di depan pemakaman umum itu. Benar, dua keranda mayat sekaligus diturunkan. Keranda itu diusung memasuki pekuburan. Berpuluh-puluh, bahkan ratusan orang mengiringinya dari belakang. Makam itu dalam sekejap penuh dibanjiri manusia. Seorang ibu nampak menangis terisak-isak di tepi keranda. Beberapa orang mencoba menghiburnya. Sementara itu kumandang ayat-ayat suci Al-Quran terdengar di sana-sini. Suasana khusuk mencekam. Aku dan Ayah turut menyaksikan penguburan mayat-mayat itu; mulai dan pengeluaran jenazah dan keranda, pemasukan jenazah ke liang lahat, sampai pada acara pengurukan dan doa terakhir untuk sang mayat. Bunga-bunga pun segera ditaburkan di atasnya. Pemandangan itu amat menakjubkanku. Tapi dalam hatiku timbul juga rasa takut. Baru kali inilah aku melihat penguburan orang mati. Setelah acara penguburan dua jenazah korban kerusuhan itu selesai, orang-orang satu persatu meninggalkan kuburan. Kuburan kembali lengang. Hanya tinggal penggali kubur itu saja yang terus sibuk bekerja membersihkan sampah-sampah yang tersisa. Setelah itu Ayah mengajakku pulang. “Iwan, tahukah kau, apa maksud Ayah mengajakmu mampir ke kuburan?” tanya Ayah sebelum menghidupkan mesin mobilnya. Aku menggeleng. “Nabi pernah berkata, tidak ada salahnya kita sekali-sekali ziarah ke kuburan. Tujuannya adalah untuk mengingat mati. Ingat, kita semua ini kelak akan mati,” demikian jawab Ayah. Aku hanya mengangguk-angguk. Ada kenangan khusus tertera di benakku ketika meninggalkan kuburan yang berada di pinggir jalan itu. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================